BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ada
tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang
besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja,
yaitu nilai, moral dan sikap.
Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap
individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik
yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Kehidupan
modern sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan
berbagai perubahan,pilihan dan kesempatan,tetapi mengandung berbagai resiko
akibat kompleksitas kehidupan yang ditimbulkan adalah munculnya nilai-nilai
modern yang tidak jelas dan membingungkan anak. Upaya pengembangan nilai,
moral, dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di
lingkungan sekolah.
Karenanya, seorang pengajar yang
professional diharapkan dapat memahami pola-pola perilaku masyarakat, terutama
remaja peserta didik sehingga seorang pendidik dapat menjadi pribadi teladan
yang akan mengajar, mendidik, dan memahami perkembangan dan kondisi remaja
peserta didik.
Oleh
karena itu, sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, kita harus
bisa memahami pola-pola prilaku masyarakat terutama remaja yang akan kita didik
nanti agar dapat menjadi pribadi teladan yang akan mengajar, mendidik dan
memahami kondisi remaja yang akan kita hadapi.
B.
Rumusan
Masalah
Apa hakikat nilai, moral dan sikap dalam
kehidupan manusia?
Apa hubungan antara
nilai, moral dan sikap dalam kehidupan manusia?
Apa saja faktor-faktor
yang mempengaruhi nilai, moral dan sikap manusia?
Bagaimanakah
karakteristik remaja berdasarkan nilai, moral dan sikap?
Apa saja upaya dari
problematika remaja yang berkaitan dengan nilai, moral dan sikap?
C.
Tujuan
Mengetahui hakikat nilai, moral dan sikap dalam kehidupan manusia.
Memahami hubungan
antara nilai, moral dan sikap dalam kehidupan manusia.
Mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi nilai, moral dan sikap manusia.
Mengetahui karakteristik
remaja berdasarkan nilai, moral dan sikap.
Mengetahui dan
menyikapi problematika remaja yang berkaitan dengan nilai, moral dan sikap.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nilai, Moral, dan Sikap
Ada
tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang
besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.
1.
Nilai
Dalam
kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Adapun menurut
Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh
individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial
tertentu.
Dalam
perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan
nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai
dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui
kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif” (subjective
spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif” (objevtive
spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif,
sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh
objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.
Menurut
Harrocks, nilai
merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat
keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.
Dalam
buku psikologi perkembangan peserta didik oleh Prof. Sinolungan mengatakan bahwa nilai adalah suatu
yang diyakini kebenarannya, dipercayai dan dirasakan kegunaannya, serta
diwujudkan dalam sikap atau perilakunya. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu
keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan
dan kesederhanaan. Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan
selalu berusaha menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan
yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih
dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk
sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.
Secara
dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan
diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan
kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan
emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta
aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Spranger menggolongkan
nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:
a.
Nilai teori atau nilai
keilmuan (I)
Mendasari
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang bekerja terutama atas dasar
pertimbangan rasional.
b.
Nilai ekonomi (E)
Suatu nilai yang
mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang atas dasar pertimbangan ada
tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya.
c.
Nilai sosial atau nilai
solidaritas (Sd)
Suatu nilai yang
mendasari perbuatan seseorang terhadap orang lain tanpa menghiraukan akibat
yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri, baik berupa keberuntungan atau
ketidakberuntungan.
d.
Nilai agama (A)
Suatu nilai yang
mendasari perbuatan seseorang atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu
itu dipandang benar menurrut ajaran agama.
e.
Nilai seni (S)
Suatu nilai yang
mendasari perbuatan seseorang atau kelompok atas dasar pertimbangan rasa
keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.
f.
Nilai politik atau
nilai kuasa (K)
Suatu nilai yang
mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang atas dasar pertimbangan baik
buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.
2.
Moral
Istilah
moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan,
adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral
adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan
manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang
mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan
masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai
anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang
dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang.
Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh
keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
Perubahan
pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep
moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat
umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual,
dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani.
Tokoh
yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan
perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlbert (1995). Berdasarkan
penelitiannya, Kohlbert (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a. Penilaian dan perbuatan
moral pada intinya bersifat rasional.
b.
Terdapat sejumlah tahap
pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang
biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.
c. Membenarkan
gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai
tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Dalam konteks perkembangan moral
ini, ada sejumlah tahap-tahap perkembangan moral yang sangat terkenal, yakni
yang dikemukakan oleh John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget, dan
Lawrence Kohlberg sendiri. Tahap-tahap perkembangan moral sesuai dengan
pandangan masing-masing adlah sebagaimana dipaparkan berikut ini.
John Dewey yang kemudian dijabarkan
oleh Jean Piaget mengemukakan tiga tahap perkembangan moral, yaitu :
a.
Tahap pramoral
Ini ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya
pada aturan.
b.
Tahap
konvensional
Ini ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan
pada kekuasaan.
c.
Tahap otonom
Ini ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan
yang didasarkan pada resprositas.
Ada tiga tugas pokok
remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
a. Mengganti
konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
b. Merumuskan
konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kodeprilaku.
c. Melakukan
pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Tahap-tahap
perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang dikemukakan
oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat
Prakonvensional
Tingkat prakonvensional adalah
aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak
berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa sesuatu yang
menyakitkan atau kenikmatan.
Tingkat prakonvensional memiliki dua
tahap, yaitu:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik
pada perubahan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai
manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan
tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
Tahap 2: Orientasi
relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan dianggap
benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan
antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada
untung-rugi.
b. Tingkat
Konvensional
Tingkat konvensional atau
konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi
atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Tingkat konvensional memiliki dua tahap,
yaitu:
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara
pribadi atau desebut orientasi “Anak Manis”.
Pada
tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu
orang lain serta yang disetujui oleh mereka.
Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi
terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata tertib sosial. Perilaku
yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas,
aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini
dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
c. Tingkat
Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip
Tingkat pascakonvensional adalah
aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan
nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan,
terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut
dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.
Tingkat pascakonvensional memiliki dua
tahap, yaitu:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial
legalitas
Pada tahap ini, individu pada
umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan yang baik cenderung
dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji
secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat
kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai
dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural
untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara
konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat
pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan
penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan
rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan
kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban .
Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika
universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh
suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang
mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis.
Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral
konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas,
persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.
Berdasarkan tingkatan dan tahapan
perkembangan moral, kohlberg (1995) menerjemahkannya ke dalam motif-motif
individu dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai dengan harapan perkembangan
moral, motif-motif perilaku moral manusia adalah sebagai berikut:
Tahap 1: Perbuatan
moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara hati
yang pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.
Tahap 2:Perbuatan moral
individu dimotivasikan oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan keuntungan.
Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara
pragmatis (membedakan rasa takut, rasa nikmat, atau rasa sakit dari akibat
hukuman).
Tahap 3: Perbuatan
moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang
nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.
Tahap 4: Perbuatan
moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan
kewajiban dan rasa bersalah diri atas kerugian yang dilakukan terhadap orang
lain.
Tahap 5:Perbuatan moral
individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan rasa hormat
terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan
berdasarkan emosi , keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri
(misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang
tidak rasional, tidak konsisten, dan tanpa tujuan).
Tahap 6:Perbuatan moral
individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri karena
melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan rasa hormat
dari diri sendiri. Selain itu juga dibedakan antara rasa hormat terhadap diri
karena mencapai rasionalitas dan rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu
mempertahankan prinsip-prinsip moral.
3.
Sikap
Fishbein
(1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten
yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik
dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung
tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara
operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan
yang merupakan respons reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang,
peristiwa, atau situasi.
Menurut
Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan
pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat
kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa
sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat
individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude)
yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian
besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur
keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu juga berkembang
selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para ahli
psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu
adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan
lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap
dan perilaku individu.
Stephen
R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik
sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
a. Determinisme
genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu diturunkan
oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan tabiat
seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
b. Determinisme
psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil
pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya.
c. Determinism
lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa perkembangan sikap
seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan bagaimana
lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan/pimpinan
memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita, situasi ekonomi,
atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk perkembangan sikap
individu.
Sikap
merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap
merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai
perilaku seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas
maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek
sikap dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan
teknik dan instrumen untuk mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap
telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu, kelompok, maupun massa untuk
mengukur pendapat umum sebagai dasar penafsiran dan penilaian sikap.
Dari
beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang
utama dan dikenal sangat luas, yaitu:
a. Skala
Likert
Dalam skala ini disajikan satu seri
pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian responden diukur sikapnya untuk
menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan jawaban yang telah disediakan.
Yaitu:
a) Sangat
setuju
b) Setuju
c) Ragu-ragu/netral
d) Tidak
setuju, dan
e)
Sangat tidak setuju.
b. Skala
Thurstone
Dalam skala ini terdapat sejumlah
pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda dan responden/subjek yang
bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap
pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih sedemikian
rupa sehingga tersusun sepanjang satu skala interval-sama, dari yang sangat
menyenangi sampai yang sangat tidak menyenangkan.
B.
Perkembangan
Nilai, Moral dan Sikap
Menurut
Danel Susanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya
ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan, seperti dibawah ini:
a. Perubahan
fisik
Pada masa remaja terjadi
pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar
yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan
berfungsi. Disamping itu tanda-tanda seksualitas sekunder juga mulai nampak
pada diri remaja.
b. Perubahan
intelek
Menurut perkembangan kognitif yang
dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah beralih dari masa
konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional,
seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang
bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir
se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada
masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
c. Perubahan
emosi
Pada umumnya remaja bersifat
emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang
dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh
perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun
penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh,
Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap
per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan
pengaruh hormonal.
d. Perubahan
sosial
Pada masa remaja, seseorang
memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada
masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang
dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku
seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk
meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang baru
ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi
kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh
keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok
remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja
untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan
sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka
menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting’ dan energi
mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.
e. Perubahan
moral
Pada masa remaja terjadi perubahan
kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi
juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja.
Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai
nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian,
pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal
ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari
moraliatas yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak
berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.
Ada
lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni:
a. Pendekatan
penanaman nilai (inculcation approach),
Pendekatan penanaman nilai
(inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada
penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya
merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang
ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang tidak sesuai dengan
perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan
ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.
Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu
dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang
akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan
nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda
bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai
mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
b. Pendekatan
perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach).
Pendekatan ini mendorong siswa
untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat
keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat
sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari
suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias,
1989).
Tujuan yang ingin dicapai oleh
pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat
pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi.
Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih
nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks,
1985).
Pendekatan
perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977).
Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh,
et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level)
sebagai berikut:
a) Tahap
“premoral” atau “preconventional”. Dalam tahap ini tingkah laku seseorang
didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
b) Tahap
“conventional”. Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit
kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
c) Tahap
“autonomous”. Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai
dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima
kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan
tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara
(Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain,
dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan,
Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada
anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka
c. Pendekatan
analisis nilai (values analysis approach),
Pendekatan analisis nilai (values
analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk
berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan
nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif,
salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai
lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai
sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma
moral yang bersifat perseorangan.
d. Pendekatan
klarifikasi nilai (values clarification approach),
Pendekatan klarifikasi nilai
(values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa
dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran
mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan
pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan
ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada
berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor
luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut
pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan
dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam
melakukan proses menilai.
e. Pendekatan
pembelajaran berbuat (action learning approach) (Superka, et. al. 1976).
Pendekatan pembelajaran berbuat
(action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara
perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Menurut Elias (1989), walaupun
pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan “moral reasoning”
dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan
pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.
C.
Hubungan
antara Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai merupakan dasar pertimbangan
bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan
atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predikposisi atau kecenderungan
individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek bebagai
perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai
mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan
menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut.
Dengan sistem nilai yan dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang
harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan
perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya.
Bagi
Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori
Psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak
dibeda-bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu
terdiri dari tiga, yaitu:
a. Id
atau Das Es
b. Ego
atau Das Ich
c. Super
Ego atau Da Uber Ich.
Id
berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan
bersifat memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi
ketegangan atau kecemasan dan menghindari kesakitan. Ego merupakan eksekutif
dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian
individu. Tugs utama Ego adalah mengantar dorongan-dorongan naluriah dengan
kenyataan yang ada di dunia sekitar. Superego adalah sumber moral dalam
kepribadian. Superego adalah kode moral individu yang tugas utamanya adalah
mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah.
Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta
mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.
Dalam konteksnya hubungan antara
nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam superego dan
seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan
cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga
akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi karena superego
yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah
dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya
superego dengan baik, juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk
mengatur dinamika kepribadian antara id dan superego, sehingga perbuatannya
selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya.
D.
Karakteristik
Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Karena
masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari
lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi
suatu periode penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja
yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat
diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya
sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin
matang.
Karakteristik
yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan
tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional
formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah
yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak
hanya lagi terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber
moral yang menjadi dasar hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja
dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan
dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum
mampu mempertanggujawabkan secara pribadi.
Tingkat
perkembangan fisik psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan sikap
dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai
salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang
tua atau orang dewasa lainnya. Apabila kalau orang tua dan orang dewasa
berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang
pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar
yang terjadi sebagai untuk kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu
yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat
sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang lebih matang
dan mandiri.
E.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap
individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik
yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi
psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi
yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan
mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu yang tumbuh dan
berkembang di dalam dirinya.
1.
Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagai lingkungan pertama
yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap seseorang. Biasanya
tingkah laku seseorang berasal dari bawaan ajaran orang tuanya. Orang-orang
yang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil,
kemungkinan besar mereka tidak mampu mengembangkan superegonya sehingga mereka
bias menjadi orang yang sering melakukan pelanggaran norma.
2.
Lingkungan Sekolah
Di sekolah, anak-anak mempelajari
nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat sehingga mereka juga dapat
menentukan mana tindakan yang baik dan boleh dilakukan. Tentunya dengan
bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan guru sebagai model dalam
bertingkah laku, oleh karena itu seorang guru harus memiliki moral yang baik.
3.
Lingkungan Pergaulan
Dalam pengembangan kepribadian,
factor lingkungan pergaulan juga turut mempengaruhi nilai, moral dan sikap
seseorang. Pada masa remaja, biasanya seseorang selalu ingin mencoba suatu hal
yang baru. Dan selalu ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan
terkadang seorang teman juga bisa dijadikan panutan baginya.
4.
Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sendiri juga memiliki
pengaruh yang penting terhadap pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali
disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai
sanksi-sanksi tersendiri untuk pelanggar-pelanggarnya.
5.
Teknologi
Pengaruh dari kecanggihan teknologi
juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang,
remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh:
internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat
diakses secara langsung.
Nilai
positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka
butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki
nilai negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja.
Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat
rentan terhadap informs seperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara
matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti
pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.
Remaja
yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola
asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang
memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji.
Sebaliknya individu yang tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang
penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak
berimbang dan kurang religius maka harapan agar anak dan remaja tumbuh dan
berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi,
dan sikap perilaku terpuji menjadi diragukan.
Perkembangan
moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh
nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar
untuk mengenal nlai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Dalam mengembangkan nilai moral anak, peranan orangtua sangatlah penting,
terutama pada waktu anak masih kecil. Menurut Adamm dan Gullotta, terdapat
beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua mempengaruhi nilai
remaja, yaitu sebagai berikut :
Terdapat
hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral
orangtua. Ibu-ibu
remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar
moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal
mempunyai skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang
nakal. Terdapat
dua faktor yang dapat meningkatkan
perkembangan moral anak atau remaja, yaitu: orangtua yang mendorong anak untuk
berdiskusi secara demokratik dan terbuka mengenai berbagai isu, dan orangtua
yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif.
Beberapa
sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral
anak, diantaranya sebagai berikut :
1.
Konsisten dalam
mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap
dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu
kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu
waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan pada waktu lain.
2.
Sikap orangtua dalam
keluarga
Secara tidak langsung, sikap orang
tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi
perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua
yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak,
sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung
mengembangkan sikap kurang bertanggungjawab dan kurang memperdulikan norma pada
diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih
sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis).
3.
Penghayatan dan
pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan
(teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama.
Orangtua yang menciptakan iklim yang religious (agamis), dengan cara memberikan
ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan
mengalami perkembangan moral yang baik.
4.
Sikap konsisten
orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki
anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan
dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan
kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab
atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya,
maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan
ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alas an untuk tidak melakukan apa yang
diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku seperti orangtuanya.
F.
Perbedaan
Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap
Sesuatu
yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok
masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat
lain. Sama halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif
oleh suatu keluarga tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain.
Ada suatu keluarga yang mengharuskan para anggota berpakaian muslimah dan sopan
karena cara berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan bermoral. Akan
tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih bernilai jika
anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak
dikalangan selebritis.
Setiap
individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi nilai, moral dan sikap, tergantung
dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak terdapat anggapan bahwa
aturan-aturan adalah pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh orang dewasa
atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi (Kohlberg, 1963). Sedangkan pada
anak-anak yang berusia lebih tua, mereka bisa menawar aturan-aturan tersebut
kalau disetujui oleh semua orang.
Pada
sebagian remaja dan orang dewasa yang penalarannya terhambat, pedoman mereka
hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan untuk tingkat kedua sudah ada
pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga harus
memikirkan kepentingan orang lain. Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat
pada latar belakang kebudayaannya. Jadi, ada kemungkinan terdapat individu atau
remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral dan sikap serta tingkah
laku yang diharapkan padanya.
Oleh
sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu
keluarga atau kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap
yang dianutnya. Perbedaan individual didukung oleh fase, tempo, dan irama
perkembangan masing-masing individu. Dalam teori perkembangan pemikiran moral
dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap individu dapat mencapai tingkat
perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan pencapaiannya juga ada perbedaan
antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu kelompok sosial
tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada waktu
yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya.
G.
Upaya
Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya bagi Pendidikan
Suatu
sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai,
moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan
harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi
individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu
membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan
yang tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji
sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama. Melalui proses
pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman,
dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral,
dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi
penerus yang diharapkan.
Perwujudan
nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak semua individu
mencapai pengembangan nilai-nilai hidup, perkembangan moraldan tingkah laku
seperti yang diharapkan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
mengembangkan nilai,moral dan sikap remaja adalah berikut:
A. Menciptakan
komunikasi.
Dalam komunikasi didahului dengan
pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Tidak hanya memberikan
evaluasi, tetapi juga merangsang anak tersebut supaya lebih aktif dalam
beberapa pembicaraan dan pengambilan keputusan. Di lingkungan keluarga, teman
sepergaulan, serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya anak
diberi kesempatan untuk kerja atau diskusi kelompok. Sehingga anak berperan
secara aktif dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Anak tidak hanya
harus mendengarkan tetapi juga harus dirangsang agar lebih aktif. Misalnya
mengikutsertakan ia dalam pengambilan keputusan di keluarga dan pemberian
tanggung jawab dalam kelompok sebayanya. Karena nilai-nilai kehidupan yang
dipelajari barulah betul-betul berkembang apabila telah dikaitkan dalam konteks
kehidupan bersama.
B. Menciptakan
iklim lingkungan yang serasi.
Seseorang yang mempelajari nilai
hidup tertentu, dan moral dan kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku
sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam
lingkungan secara positif,jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan
pencerminan nilai hidup tersebut.
Untuk
remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang
dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari
jalannya sendiri. Pedoman ini untuk menumbuhkan identitas diri,kepribadian yang
matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa
ini. Nilai nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengatur
tingkah laku baik buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu lingkungan yang
lebih bersifat mengajak, mengundang, atau member kesempatan akan lebih efektif
daripada lingkungan yang ditandai dengan adanya larangan- larangan yang
bersifat serba membatasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada
tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang
besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja,
yaitu nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial
membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin
dicapai, kedua moral yang berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara
dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai
dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan
wajar, ketiga adalah sikap.Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah
predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap
suatu objek.
Dalam
konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah
menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya
dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan
aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral.
Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap
individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik
yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Suatu
sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai,
moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Melalui proses pendidikan,
pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi
edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap
yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang
diharapkan.
B.
Saran
Adapun
saran yang dapat kami sampaikan, setelah kami mengkaji tentang perkembangan
nilai moral dan sikap pada masa remaja adalah:
1.
orang tua di dalam
rumah harus bertanggung jawab untuk mendidik moral anaknya
2.
guru di sekolah juga
bertanggungjawab untuk mendidik moral anak didiknya, tidak hanya sekedar pintar
dalam keilmuan tetapi harius pentar dalam bertindak dan bersikap (berakhlak).
3.
masyarakat harus ikut
serta mencegah anak yang amoral dan mendukung anak yang bermoral.
Upaya pengembangan
nilai, moral dan sikap diharapkan dapat menjadikan seseorang menjadi individu
yang diharapkan yakni melalui penciptaan komunikasi serta penciptaan iklim
lingkungan yang serasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad dan
Asrori, Muhammad, 2006, Psikologi Remaja, Jakarta:PT Bumi Aksara.
Corey, Gerald, 2009,
Teori dan Praktek KONSELING DAN PSIKOTERAPI, Bandung: PT Refika Aditama
Hurlock, Elizabeth B.
1980, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga,
Panuju, Panut dan
Umami, Ida, 1999, Psikologi Remaja, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Setyoningtyas, Emila,
Kamus Trendy Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo
Haji
Muhammad Asrori,2015,Perkembangan Peserta Didik,Pontianak:Untan Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar